Sunday, February 25, 2007

Kontempelasi 43

Mengapa engkau murung wahai tubuh? Bukankah engkau
semestinya ria di hari jadimu. Bahkan, seperti beberapa
selebritis yang menjadi milyarder berkat booming pertelevisian
sehingga merayakan ulang tahunnya dengan pesta seharga semiliar,
bukankah engkau layak meneguk air kebahagiaan? Maka berdandanlah,
wahai wajah, agar berseri-seri di hari jadi.

Bukankah adat dunia menempatkan hari jadi sebagai momen sejarah yang
penting. Ini karena ulang tahun, seperti lazimnya kutur Barat, menjadi
momentum menghitung marka kejayaan. Mutu kehidupan diperingkatkan
berdasarkan pencapaian kebendaan: pangkat dan harta kekayaan.
Adakah engkau tubuh yang berulangtahun murung karena tak memiliki
marka kejayaan?

Bukan itu penyebabnya, sahut tubuh yang lesu. Ini karena di usia 40-an
sebagai fase kejayaan pada kultur Barat aku telah mengumpulkan sejumlah
kemapanan: rumah dan perangkat mebelnya, kendaraan pribadi,
serta pekerjaan yang mapan. Semua itu sesungguhnya belenggu duniawi
yang (dapat) membuat seseorang semakin terikat pada kehidupan dunia.
Maka, seperti Sidharta Gautama, aku tersadar dari sihir dunia.

Bukankah Sidharta meninggalkan kemewahan istana,
untuk menjalani penderitaan demi penderitaan, dalam pencaharian
makna hakiki kehidupan? Seperti Sidharta, aku pun meninggalkan
marka kejayaan, lalu berkemas-kemas memulai hidup baru.
Di saat berpisah dengan kebendaan yang kumiliki,
aku belajar merasakan ikhlas (bukan memahami seperti kebanyakan
orang yang hanya pandai mengucapkannya).
Bukankah maqam ikhlas hanya tercapai ketika tumbuh rasa sedia tak
memiliki ketika benda dimiliki diserahkan pada orang lain untuk
digunakan?

Benda-benda menjadi sesuatu yang semu sehingga tak usah
mengikatkan diri padanya. Bukankah sejatinya kita adalah pejalan
mencari kehakikian. Tapi, mengapa engkau murung ketika
ketuaan memagutmu? Di usia ke-43, sahut tubuh yang lesu,
aku justeru kian menyadari begitu lama terpedaya pada hitungan
waktu berdasarkan pengetahuan Barat: menghitung marka kejayaan
berdasarkan pencapaian bendawi. kita seringkali terpedaya kultur Barat,
berkait dengan hakikat waktu. Akibatnya, kita berpikir dan berperilaku
sesuai kultur Barat, menghimpun banyak kata memiliki dalam simbol
kebendaan sembari merasa selamanya di bumi.

Maka, wahai tubuh yang berhari jadi, engkau pun murung di hari
ulangtahunmu. Kemurunganmu karena Allah telah menetapkan hanya
sebentar saja di bumi sementara engkau belum banyak memenuhi
janji pada-Nya. Ulang tahun mengingatkanmu terhadap pesan Tuhan
bahwa hanya sebentar di bumi. Bukankah tahun yang berulang
sejatinya proses waktu yang menggiringmu kembali kepada-Nya?
(R.harahap - republika)

No comments: