Friday, February 6, 2009

Hal-Hal Dalam Sebuah Pikiran.

Hal-hal kecil? Adakah hal-hal kecil itu? Sekuntum bunga Edelweis yang tumbuh di lereng gunung mungkin hal kecil yang remeh bagi penduduk sekitar. Namun tidak bagi pendaki yang
memetik dan memajangnya di meja sebagai cendera kebesaran petualangannya yang gagah berani. Dan hal-hal besar? Adakah hal-hal besar itu? Persoalan patah hati bagi seorang gadis mungkin hal terberat yang membuatnya hilang kesadaran. Namun tidak bagi pasangan yang telah menempuh perjalanan hidup yang panjang berliku. Seberapa besarkah hal kecil? Dan, seberapa kecilkah hal besar? Di manakah letak alat ukur nilai besar dan kecil?

Semua itu berada dalam alam pikiran anda. Besar, kecil, penting, atau sepelenya suatu hal sebanding dengan seberapa besar dan kecilnya "ke-aku-an" anda memandang. Apa yang ada di hadapan ini melintas apa adanya. Bila anda melihatnya secara apa adanya, maka tak perlu ada kecemasan, ketakutan atau bahkan keinginan untuk sebuah kehormatan.

Saturday, April 14, 2007

Hidup itu cuma sekadar minum

URIP iku mung sak dermo ngombe. Hidup itu cuma sekadar minum. Amat
sangat singkat. Ibarat air baru membasahi tenggorokan, eh, sudah
selesai. Tamat. Berulang kali Ayah dan Nenek mengingatkan saya. "Hati-
hati Le, urip iku mung sak watoro, cuma sebentar,'' kata Nenek, penuh
kasih.

Sebagai manusia, diingatkan agar tidak drengki atau iri melihat
keberuntungan orang lain. Sebab, kemampuan, kodrat, keadaan, dan
keberadaan masing-masing orang itu berbeda. Ada lagi watak dahwen
atau senang mencela orang lain, atau panasten alias senang
menghalangi sukses orang lain. Hindari pula sifat angrong prasanakan,
suka mengganggu istri orang.

Dalam pupuh durma disebutkan, jangan terlalu banyak makan dan tidur,
agar bisa mengurangi nafsu yang menyala-nyala. Kebenaran, kesalahan,
keburukan, kebaikan, dan keberuntungan itu berasal dari perilaku kita
sendiri. Untuk itu, tak usah memuji diri sendiri, dan jangan suka
mencela orang lain. Ajining diri saka obahing lathi, seseorang itu
dihargai karena ucapannya.

Dalam pupuh pucung diceritakan tentang pertengkaran sesama saudara
yang bisa membawa sial. Harus rukun. Juga adil. Hargai dan pujilah --
namun jangan berlebihan-- siapa saja yang rajin bekerja dan
berprestasi. Sebaliknya, yang malas-malasan harus diingatkan, sebab
kemalasan itu akan membawa nasib lebih buruk.

Di pupuh mijil diungkapkan, kita harus berwatak kesatria, berani
bertanggung jawab atas semua perbuatan. Tapi, sikap itu tak perlu
ditonjol-tonjolkan. Yang penting, malu berlaku curang. Nah,
pembangunan yang mengesampingkan dimensi budaya tersebut akan membawa
masyarakat pada tiga kesalahpahaman umum, ''Yakni, tidak mengetahui,
salah asumsi, dan salah penerapan.''

Pada serat Wedhatama, karya Raja Surakarta, Sri Mangkunegara IV (1809-
1881), ditekankan bahwa manusia itu harus punya rasa pangrasa, punya
kepekaan, tidak masa bodoh terhadap lingkungan. Biasanya, orang yang
kurang peka itu egoistis. Kesadarannya untuk berbuat baik tidak
berkembang, dan malah makin brengsek.
Nenek tak ingin jiwa dan pikiran saya liar hingga kejeblos ke alam
duniawi saja. Ia berharap saya mengutamakan ketenteraman jiwa dan
hati. Bukan jiwa yang gelisah, gaduh menyesakkan, yang diburu oleh
dosa.

Sunday, March 18, 2007

Arvan P :

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi: Energi yang Anda
berikan kepada dunia tak akan pernah hilang. Energi itu akan kembali
kepada Anda dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti
akan kembali kepada Anda dalam bentuk persahabatan, cinta kasih,
perasaan bermakna maupun kepuasan batin yang mendalam.

Saturday, March 17, 2007

Tahukah Anda

Selama konflik antara Ethiopia-Eritrea (1998-2000), Ethopia menyewa piilot pemburu bayaran. Salah satu pilotnya dengan julukan Bar-Su dengan pesawat tempur Sukhoi Su-27 berhasil merontokkan sebuah pesawat tempur MiG-29 Eritrea dalam suatu 'dog fight' sengit. Yang mengagumkan dari pertempuran udara tersebut adalah sang pilot penempur bayaran tersebut adalah seorang wanita.

Ketika aku meminta sedikit

Sahabat-sahabat, ketika usiaku 25 tahun, aku sudah memiliki niat untuk menikah, meskipun hanya sekedar niat, tanpa keilmuan yang cukup. Karena itu, aku meminta jodoh kepada Allah dengan banyak kriteria. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 30 tahun, semua orang-orang yang ada di sekelilingku, terutama orang tuaku, mulai bertanya pada diriku dan bertanya-tanya pada diri mereka sendiri. Maukah aku segera menikah atau mampukah aku menikah? Dalam doaku, aku kurangi permintaanku tentang jodoh kepada Allah. Rupanya masih terlalu banyak. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 35 tahun, aku bertekad, bagaimanapun caranya, aku harus menikah. Saat itulah, aku menyadari, terlalu banyak yang aku minta kepada Allah soal jodoh yang aku inginkan. Mulailah aku mengurangi kriteria yang selama ini menghambat niatku untuk segera menikah, dengan bercermin pada diriku sendiri.

Ketika aku minta yang cantik, aku berpikir sudah tampankah aku?
Ketika aku minta yang cukup harta, aku berpikir sudah cukupkah hartaku?
Ketika aku minta yang baik, aku berpikir sudah cukup baikkah diriku?
Bahkan ketika aku minta yang solehah, bergetar seluruh tubuhku sambil berpikir keras di hadapan cermin, sudah solehkah aku?

Ketika aku meminta sedikit..... Ya Allah, berikan aku jodoh yang sehat jasmani dan rohani dan mau menerima aku apa adanya, masih belum ada tanda-tanda Allah akan mengabulkan niatku.

Dan ketika aku meminta sedikit...sedikit. ..sedikit. ..lebih sedikit..... Ya Allah, siapapun wanita
yang langsung menerima ajakanku untuk menikah tanpa banyak bertanya, berarti dia jodohku. Dan Allahpun mulai menujukkan tanda-tanda akan mengabulkan niatku untuk segera menikah. Semua urusan begitu cepat dan mudah aku laksanakan. Alhamdulillah, ketika aku meminta sedikit, Allah memberi jauh lebih banyak. Kini, aku menjadi suami dari seorang istri yang melahirkan dua orang anakku.

Sahabatku, 10 tahun harus aku lewati dengan sia-sia hanya karena permintaanku yang terlalu banyak. Aku yakin, sahabat-sahabat jauh lebih mampu dan lebih baik daripada yang suadh aku jalani. Aku yakin, sahabat-sahabat tidak perlu waktu 10 tahun untuk mengurangi kriteria soal jodoh. Harus lebih cepat!!! Terus berjuang saudaraku, semoga Allah merahmati dan meridhoi kita semua. Amin.

Rico Atmaka
Koordinator Majelis Sehati
Daarut Tauhiid Jakarta

Friday, March 16, 2007

Percakapan yang Membebaskan

Manusia, dari tingkatan permukaan sampai ke tingkatan hati
dan jiwa, memang pernah ditelusuri banyak sekali ilmuwan.
Dari psikolog Sigmund Freud, Carl Jung, ke sosiolog Max
Weber, Anthony Giddens, sampai dengan fisikawan seperti
Frijof Capra. Deretan ilmuwan ini tentu amat membantu
pemahaman kemudian. Tidak saja di zaman mereka hidup,
bahkan melebar ke waktu-waktu sesudahnya.

Kedalaman hasilnya, memang amat tergantung pada ketekunan
seseorang dalam mencari dan menggali. Dan seniman, lengkap
dengan kelebihan maupun kekurangannya, melalui
bahasa-bahasa metaforanya sedang ?bercakap-cakap? dengan
dirinya sendiri. Dan pembaca serta pendengarnya pun
?bercakap-cakap? dengan dirinya sendiri.

Yang layak direnungkan, melalui tangan-tangan seniman yang
percakapan ke dalamnya mengagumkan sebagaimana penulis
novel ?Biola Tak Berdawai,? kita seperti diajak menyelam
dalam ke kedalaman kita masing-masing. Coba perhatikan
salah satu kalimat menyentuh novel indah ini ketika
mencoba menjelaskan kehidupan anak-anak tuna daksa
(melebihi dari satu cacat ? demikian salah satu keterangan
kecil novel ini): ?kami tidak sempurna bagi yang
membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka,
tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami
sendiri?.

Bagi pikiran yang dipenuhi kepintaran, dan hanya bisa
berjalan serta bergerak jika ada pembandingan,
penggambaran kesempurnaan seperti ini tentu saja
menghentak. Kesempurnaan, ternyata ada di luar
pembandingan. Ini menerangkan sekaligus membebaskan.
Berbeda sekali dengan keseharian sejumlah sahabat. Di mana
kesempurnaan menjadi sangat dan teramat langka, karena
penuh pembandingan sekaligus penghakiman.

Jangankan anak-anak cacat, istri, suami, atasan, bawahan,
orang tua, tetangga, pemerintah, anggota legislatif,
anggota yudikatif, semuanya terlihat jauh dari sempurna
karena dibandingkan. Lebih-lebih kalau pembandingan ini
dibumbui penghakiman. Tidak saja yang dibandingkan dan
dihakimi yang terlihat kurang sempurna, pihak yang
membandingkan dan menghakimi juga bergerak ke tataran yang
semakin tidak sempurna.Kata ?lebih?, entah lebih baik atau
lebih buruk, memang tidak sekadar jembatan pemahaman. Ia
juga serangkaian penghakiman yang bisa membebaskan atau
menakutkan.

Bukankah perang, konflik, teror, perceraian dan sejenisnya
lahir dari manusia yang merasa diri lebih benar? Adakah
yang merasakan kesombongan demikian berkuasanya di dalam
ketika manusia menyebut diri lebih baik? Adakah yang
melihat kalau minder dan tidak percaya diri sudah merampok
demikian sadisnya ketika manusia menyebut dirinya lebih
buruk?

Bagi siapa saja yang tekun dalam perjalanan percakapan
yang membebaskan, setiap pemberhentian sementara diikuti
oleh perjalanan pertanyaan berikutnya. Hati yang mana?
Keinderaan yang mana? Hati yang diselami kata-kata atau
hati yang diselami cinta keseharian? Keinderaan yang
mendengar ke luar atau keinderaan yang mendengar ke dalam?
Hati yang memancar melalui hafalan atau pemujaan?
Keinderaan yang tumbuh melalui daging atau yang tumbuh
oleh keindahan?

Ah, maafkanlah percakapan! Dari satu sisi, ia memang
seperti menambah kebingungan melalui
pertanyaan-pertanyaannya. Di lain sisi, ia juga yang
memberi energi perjalanan pemahaman sekaligus membebaskan.
Terutama, melalui sifatnya yang senantiasa terbuka.

- Gede Prama (sinarharapan) -

Thursday, March 15, 2007

Dale Carnigie :

“ Masa depan harus dipikirkan baik-baik, direncanakan
serta dipersiapkan sebaik mungkin. Tetapi tidak boleh
disertai dengan kekhawatiran. Jangan khawatir akan
hari esok. ”