Friday, March 2, 2007

Panglima dan Orang Tua

Malam yang semakin gulita....
sunyi sepi membahana.......
Langit bertabur bintang....
dengan sedikit mendung yang mengawang...........

tampak dari kejauhan,
seseorang berjalan terseok-seok sambil membawa beban

Semakin dekat-semakin dekat, jelaslah sudah...
seorang yang sudah lewat tengah baya, dengan sorban diatas
kepalanya, rambutnya sudah memutih semua dan sebagian
rontok bersamaan dengan berjalannya dia, kerut merut lipatan kulit
di dahinya yang sudah banyak, pandangan matanya menampakkan
beban beratnya kehidupan, kulit dibawah kelopak matanya
membentuk tiga jalur lipatan. Pipinya cekung dengan tulang pipi
yang menonjol, Alis matanya yang membentuk golok melintang
dipadukan dengan dua daun telinganya yang agak lebar.

Perawakannya kurus kering, tanpa berpakaian, sehingga tampak
seolah hanya tulang yang dibungkus kulit saja.
Tulang iganya di kanan kiri terlihat jelas dari luar, dengan memakai
celana hitam yang lusuh potongan sedengkul, si orang tua itu
mengangkat sebuah karung goni besar di atas punggungnya.

Dengan terseok-seok dia melangkahkan kakinya di kegelapan malam.

Dikejauhan tiba-tiba terdengar ringkikan kuda memecah keheningan
malam "...hhhiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkk...........hiiirrrrr !!

Seorang penunggang kuda tampak dikejauhan, memacu, menghentak
dan kadang melecut perut kudanya. Tambah lama, semakin dekat
jaraknya dengan si bapak tua.

"MINGGIIRRRRR........!"...teriak si penunggang kuda, tetap tidak
mengurangi kecepatan berkudanya.

Si tua yang memanggul beban berat dipunggungnya, seolah tidak
mendengarkan atau memang tidak mendengar teriakan
penunggang kuda itu.

Semakin dekat..jarak semakin dekat...
dan semakin dekat.....dan...
"BRAASSSSSSSS>>>>>BRRRUUAKKKA<<<>>>>>>>>:".

Tabrakan tak dapat dielakkan lagi, Karung goni di atas punggung si
orang tua terlempar beberapa meter, dia sendiri tersungkur,
diujung mulutnya meneteskan darah, dipeganginya dengkul kakinya
yang juga lecet-lecet sedikit berdarah.
Tidak ada suara mengaduh, hanya tangannya yang terus mengurut-urut
kakinya yang sepertinya kesakitan.

Si penunggang kuda yang tidak terjatuh melompat dari kudanya
turun dan mendekati si orang tua itu. Bukannya minta maaf, malah
berteriak marah dan mengayunkan kedua kepalannya pada
wajah si orang tua, "Kamu itu sudah tahu aku bilang minggir kok
ndak mau minggir..dasar tua bangka bangkotan...!!".."Duess..duess..",
beberapa pukulannya mendarat di wajah dan perut si tua.
Darah keluar semakin deras dari mulutnya.
Tak terdengar rintihan atau keluhan.

Sinar bulan yang mulai tampak bercahaya, sekilas cahayanya
mengenai pakaian si penunggang kuda. Tampak sosok yang kekar
terlatih dengan helm di atas kepalanya dan seragam seorang
prajurit perang.
Di atas bahunya ada tanda...beberapa tanda yang menunjukkan
dia adalah seorang panglima.

Masih terdenagr beberapa kali gerutuan si penunggang kuda, dia
melompat kembali naik kekudanya dan menghentakkan kudanya
bergerak cepat menuju istana kerajaan.

Beberapa waktu kemudian, Setelah sampai di depan pintu kerajaan,
dia melompat turun dari kudanya. Kudanya ditambatkan ditempat
biasanya ia meletakkan kuda. Dan dengan langkah tegap,
ia berjalan menuju pintu gerbang ruang kerajaan.

Di kanan kiri pintu, ada dua pengawal kerajaan yang berdiri tegak,
siap dengan tombaknya, menanyakan keperluan dari sang panglima,
kemudian sang panglima disuruh menunggu sejenak diluar.
Salah seorang dari penjaga pintu masuk untuk melaporkan
kedatangan sang panglima pada rajanya.

Agak lama kemudian, kira-kira sepenanakan nasi, sang raja keluar
dan duduk disinggasana, sementara si panglima baru saja dipersilahkan
untuk masuk oleh penjaga pintu gerbang.
Sang raja manggut-manggut di atas singgasananya mendengarkan
laporan sang panglima, sementara sang panglima dengan takzim
duduk dibawah menyampaikan laporannya sepatah demi sepatah kata.

Tiba-tiba keasyikan mereka terganggu dengan terbukanya pintu
gerbang ruangan kerajaan itu. Angin berhembus kencang mengiringi
masuknya sosok tua yang sudah kita kenal tadi.
pak tua yang membawa karung goni dipunggungnya.
Melihat pak tua yang berdiri dimuka pintu, mendadak sontak sang
raja tersenyum dan dengan tergopoh-gopoh setengah berlari
menghampiri si tua dengan penuh sikap hormat dan tunduk.
Pucatlah wajah si panglima melihat kejadian itu.
tubuhnya bergetar hebat, lemas seolah seluruh tulangnya meleleh
melihat pemandangan itu. Orang tua yang tadi disuruhnya minggir,
yang tidak mau minggir akhirnya ditabraknya.
Orang tua yang membuatnya marah karena tidak mau minggir,
bukannya dia minta maaf, malahan si orang tua dipukuli sampai
darah menetes, sampai darah mengucur deras.

Kini ada dihadapannya, dan sebuah keheranan memenuhi benaknya.
Dirinya seorang panglima saja untuk menemui sang raja butuh waktu
menunggu, disuruh menunggu cukup lama. Sedangkan si orang tua itu
kelihatannya tidak dihalangi sama sekali oleh penjaga pintu, dan
sang raja sendiri menyambut dengan tersenyum dan dengan menghormat
takzim pada si orang tua.

Siapakah si orang tua yang sangat dihormati oleh raja ini ?
Siapakah ? Siapakah orang tua yang telah menjatuhkan seluruh
keberanianku sebagai seorang panglima ini ?
siapakah ? Siapakah orang tua yang telah membuat aku malu dengan
kesabarannya dan dengan kepasrahannya ini ?
Siapakah ? Sekiranya dapat si panglima menyembunyikan wajah dan
dirinya dari hadapan si tua, tentulah akan dilakukannya.

Jantung si panglima serasa mau copot, dan darah seolah berhenti
mengalir, mata membelalak, manakala sang Raja bukan saja
menghormat, melainkan mendudukkan si orang tua disinggasananya
sementara sang raja memilih duduk dikursi sebelahnya.
Sementara ia sendiri, seorang panglima kerajaan, hanya duduk di
atas karpet, dibawah singgasana.
Si orang tua itu menolak untuk duduk disinggasana, ia memilih
duduk disebelah singgasana raja. Seolah tak pernah terjadi suatu
dengan si panglima, si orang tua itu tersenyum ramah dengan
penuh ketulusan padanya.

Suara sang raja memecah keheningan,
"Panglimaku, belum kenalkah engkau dengan beliau ? guruku ?
penasehat kerajaan ? Sulthon auliya` Ibrahim bin Adham ?".

No comments: