Friday, March 16, 2007

Percakapan yang Membebaskan

Manusia, dari tingkatan permukaan sampai ke tingkatan hati
dan jiwa, memang pernah ditelusuri banyak sekali ilmuwan.
Dari psikolog Sigmund Freud, Carl Jung, ke sosiolog Max
Weber, Anthony Giddens, sampai dengan fisikawan seperti
Frijof Capra. Deretan ilmuwan ini tentu amat membantu
pemahaman kemudian. Tidak saja di zaman mereka hidup,
bahkan melebar ke waktu-waktu sesudahnya.

Kedalaman hasilnya, memang amat tergantung pada ketekunan
seseorang dalam mencari dan menggali. Dan seniman, lengkap
dengan kelebihan maupun kekurangannya, melalui
bahasa-bahasa metaforanya sedang ?bercakap-cakap? dengan
dirinya sendiri. Dan pembaca serta pendengarnya pun
?bercakap-cakap? dengan dirinya sendiri.

Yang layak direnungkan, melalui tangan-tangan seniman yang
percakapan ke dalamnya mengagumkan sebagaimana penulis
novel ?Biola Tak Berdawai,? kita seperti diajak menyelam
dalam ke kedalaman kita masing-masing. Coba perhatikan
salah satu kalimat menyentuh novel indah ini ketika
mencoba menjelaskan kehidupan anak-anak tuna daksa
(melebihi dari satu cacat ? demikian salah satu keterangan
kecil novel ini): ?kami tidak sempurna bagi yang
membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka,
tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami
sendiri?.

Bagi pikiran yang dipenuhi kepintaran, dan hanya bisa
berjalan serta bergerak jika ada pembandingan,
penggambaran kesempurnaan seperti ini tentu saja
menghentak. Kesempurnaan, ternyata ada di luar
pembandingan. Ini menerangkan sekaligus membebaskan.
Berbeda sekali dengan keseharian sejumlah sahabat. Di mana
kesempurnaan menjadi sangat dan teramat langka, karena
penuh pembandingan sekaligus penghakiman.

Jangankan anak-anak cacat, istri, suami, atasan, bawahan,
orang tua, tetangga, pemerintah, anggota legislatif,
anggota yudikatif, semuanya terlihat jauh dari sempurna
karena dibandingkan. Lebih-lebih kalau pembandingan ini
dibumbui penghakiman. Tidak saja yang dibandingkan dan
dihakimi yang terlihat kurang sempurna, pihak yang
membandingkan dan menghakimi juga bergerak ke tataran yang
semakin tidak sempurna.Kata ?lebih?, entah lebih baik atau
lebih buruk, memang tidak sekadar jembatan pemahaman. Ia
juga serangkaian penghakiman yang bisa membebaskan atau
menakutkan.

Bukankah perang, konflik, teror, perceraian dan sejenisnya
lahir dari manusia yang merasa diri lebih benar? Adakah
yang merasakan kesombongan demikian berkuasanya di dalam
ketika manusia menyebut diri lebih baik? Adakah yang
melihat kalau minder dan tidak percaya diri sudah merampok
demikian sadisnya ketika manusia menyebut dirinya lebih
buruk?

Bagi siapa saja yang tekun dalam perjalanan percakapan
yang membebaskan, setiap pemberhentian sementara diikuti
oleh perjalanan pertanyaan berikutnya. Hati yang mana?
Keinderaan yang mana? Hati yang diselami kata-kata atau
hati yang diselami cinta keseharian? Keinderaan yang
mendengar ke luar atau keinderaan yang mendengar ke dalam?
Hati yang memancar melalui hafalan atau pemujaan?
Keinderaan yang tumbuh melalui daging atau yang tumbuh
oleh keindahan?

Ah, maafkanlah percakapan! Dari satu sisi, ia memang
seperti menambah kebingungan melalui
pertanyaan-pertanyaannya. Di lain sisi, ia juga yang
memberi energi perjalanan pemahaman sekaligus membebaskan.
Terutama, melalui sifatnya yang senantiasa terbuka.

- Gede Prama (sinarharapan) -

No comments: